Keindahan Paradoks ala La La Land

La La Land (2016)
Drama / Romansa berdurasi 2 Jam 8 Menit
8.3/10 (IMDB) - 93% Rotten Tomatoes - 93% Metacritic

Sumber Gambar : FilmAffinity


La La Land bagi saya adalah sinema yang paradoks. Indah sekaligus pedih. Tidak, saya tidak bicara tentang tragedi salah sebut di Academy Award 2017. Ketika menikmati La La Land, saya sungguh merasa tiga perasaan sekaligus; bahagia, tenang, dan perih. Aneh kan?

La La Land merupakan film drama musikal besutan Damien Chazelle yang sebelumnya menelurkan karya senada bernuansa jazz sadis berjudul Whiplash. Sinematografi La La Land indah di mata, telinga, dan hati. Dengan catatan, abaikan dulu idealisme tentang rasisme di Hollywood ya.

Plot cerita La La Land begitu sederhana. Kisahnya bercerita tentang perjuangan orang-orang yang ingin jadi bagian di industri perfilman Hollywood. Adegan dimulai dengan atraksi musikal apik bernuansa musim panas yang diberi judul "Another Day of Sun". Setiap liriknya menggambarkan kenekatan para pengadu nasib di tanah Hollywood yang terkadang datang dengan berbekal seadanya.



Adegan berlanjut dengan pengenalan tokoh Mia (Emma Watson) dan Sebastian (Ryan Gosling). Emma digambarkan pramusaji di sebuah kedai kopi di komplek studio film yang terus berjuang lulus casting, namun berulang kali gagal. Sementara itu Ryan merupakan musisi yang berusaha keras menghidupkan Jazz namun terus dicibir keras oleh kehidupan. Keduanya berkenalan dalam amarah pada pertemuan pertama dan kedua. Mereka saling membenci satu sama lain dan sepakat dengan ketidakcocokan itu melalui adegan musikal yang sarkas berjudul "What a Waste of a Lovely Night". Gosling nyanyi, main piano, dan menari tap dance, euy!


Pada pertemuan selanjutnya, Sebastian dan Mia mulai menemukan kecocokan lalu akhirnya menjadi sepasang kekasih yang penuh cinta dan mimpi. Penonton pun disuguhkan dengan drama "klise" perjuangan Sebastian dan Mia dalam meraih mimpi yang pada akhirnya justru mengorbankan relasi keduanya.

Gambar : Inside The Magic
Di akhir cerita mereka bertemu kembali lima tahun kemudian dalam kondisi yang menurut saya indah namun getir. Mia, yang sudah jadi aktris terkenal, diajak suaminya menengok jazz club bernuansa autentik nan luar biasa yang ternyata milik Sebastian. Cafe tersebut bahkan menggunakan nama dan logo buatan Mia. Mimpi Sebastian jadi kenyataan dalam lirik City of Stars jadi kenyataan.


"City of stars
Just one thing everybody wants
There in the bars
And through the smokescreen of the crowded restaurants
It's love...
Yes, all we're looking for is love from someone else"


Ada begitu banyak cinta dari pengunjung Seb's untuk Sebastian dan Jazz. Namun di saat yang bersamaan ada kegetiran Mia dan Sebastian. Alunan piano Sebastian seakan membawa Mia berandai-andai. Jika mereka berdua masih bersama, Sebastian dan Mia akan jauh lebih bahagia namun impian Sebastian mati. Inilah momen paradoks saya. Tanpa terasa air mata saya mengalir namun bibir saya tersenyum.



Klise? Ya memang. Terlebih lagi melihat seakan-akan jalan untuk menaklukan Hollywood cenderung instan; mengingat Mia hanya butuh 3 tahun untuk mendapatkan peran besar perdananya dan 5 tahun untuk menjadi aktris ternama dengan mansion besar. Sungguh, abaikan saja bagian itu. La La Land bukanlah film untuk berkontlempasi. Jika ingin merenung, tontonlah Moonlight.

La La Land dengan segala kekliseannya justru menawarkan keindahan dari berbagai aspek mulai dari musikalitas, koreografi, hingga cinematografi yang menurut saya hanya terkalahkan oleh Life of Pi. Mari para pemimpi, kalahkan rasa sakit, amarah dan kekacauan itu! Lakukan lagi, lagi, dan lagi hingga mimpi itu jadi kenyataan. Jadilah pemimpi tangguh. Apakah kamu salah satunya? Kiranya lagu ini jadi penyemangat : 


"Climbs these hills I'm reaching for the heights and chasing all the lights that shine. And when they let you down, you'll get up off the ground. As morning rolls around, it's another day of sun"--Another Day of Sun 

(evi panjaitan)


***

Comments